Misteri (sebuah cerpen)



                Geliat pagi baru saja menyapa Bumi Pertiwi bagian tengah yang terlelap oleh Selimut Dewi malam. Semburat cahaya malu-malu Sang Matahari mulai membangunkan kehidupa disisi Sungai Mahakam.
                Speed boat dan kapal-kapal kecil mulai bergerak, perahu-perahu menjauh dari dermaga, para wanita bertugas selayaknya kodratnya. Para pria meninggalkan rumah-rumah mencari dan menjemput rezeki di sepanjang Mahakam. Sekelompok anak-anak berlarian kesatu titik di sisi sungai, berkejar-kejaran menikmati ritual mandi ala anak sungai, perenang alam.
                Suara mesin speed boat memecah hikmatnya pagi di tepian sungai, kemudian meninggalkan dermaga mengantarkan para pelanggan dari hulu ke hilir, atau dari hilir ke hulu.
                Sebuah mobil van hitam berhenti di areal parkir dermaga kecil yang terbuat dari kayu. 4 orang laki-laki dan 2 orang perempuan, usia remaja keluar dari mobil. Salah satu laki-laki membuka bagasi dan mengeluarkan tas-tas dari dalam mobil, yang lain menyusul dan mengambil tas masing-masing dan menyandangnya.
                Keenam anak muda itu menuruni tangga dermaga yang terbuat dari kayu ulin, yang disusun rapi. Sebuah warung sederhana menanti di ujung tangga, menghadap ke sungai Mahakam. Serentak tanpa komando keenamnya menyerbu warung itu. Mengintip isi etalase. Sebagain menatap nafsu udang gala goreng yang masih mengeluarkan uap panas, tanda baru selesai proses masak. Tanpa basa basi memesan dengan yakin, dan langsung memilih meja di dalam warung.
                Lebih dari 10 jam yang lalu Santi, Rian, Dody dan Ari buat pertama kali menjejakan kaki mereka di Bumi Etam, setelah penerbangan selama 2 jam dari Jakarta. Lintang, teman dunia maya Rian dan Santi mengundang Rian dan Santi untuk melakukan lawatan ini. Dengan berbagai photo yang menggiurkan yang dikirimkan Lintang via Facebook, BBM dan email. Akhirnya sajian udang gala besar dan dinding batukapur di aliran Mahakam membuat Rian dan Santi merencakan liburan long week end di Melak, Kalimantan Timur. Dody dan Ari yang diajak ikut meriahkan acara liburan ga berpikir panjang untuk menyatakan kesediaan ikutnya, jiwa keduanya ga pernah puas dengan petualangan dan alam perawan. Bahkan Ari sudah menghayal berjalan di tengah jejeran pohon-pohon kayu besar, sayangnya Ari adalah mahluk yang khayalannya suka lebay.
“Aku membayangkan hutan perawan yang tak tertembus matahari siang dan orang-orang dayak yang mengikat orang asing yang berniat jahat yang masuk ke kampungnya ke tiang ditengah perkampungan.” Ari mengungkapkan hayalannya yang segera dijawab gaplokan di punggungnya yang cukup membuatnya tersedak dan segera menghapus hayalan gilanya.
“Ini sungai Mahakam, bro. Bukan Amazon. Lu kira suku Indian.” Rian menepuk punggung.
“Mmmmm….kalau gitu gadis-gadis dayak yang mandi di sungai dong. Mereka sudah kenal busana belom yah? Seperti masyarakat di Papua gitu.” Kali ini Santi yang menjawab khayalan gila Ari sambil sedikit melotot. “Yah ga lah. Orang Dayak sudah kenal busana dari kapan tau. Lu tuh ye, jangan ngayal macem-macem deh. Otak mesum.”
                Seperti perjanjian yang dibuat saat perencanaan lawatan ke Kalimantan Timur ini, Lintang menjemput ke empat temannya di Bandara Sepinggan, Balikpapan. Dan langsung ke Samarinda melewati hutan bukit Suharto yang membuat Santi enggan menutup kaca mobilnya, menghirup dalam-dalam udara sejuk ditengah hutan cemara.
“Oksigen murni dan bersih. Jarang-jarang dapat barang kaya’ gini.” Komentar Santi.
                Tidak terasa mobil sudah memasuki kota Samarinda yang dibelah Sungai Mahakam. Tongkang bermuatan batubara dan gelondongan kayu-kayu besar menjadi pemandangan di badan sungai dan menjadikan sebuah pertanyaan besar yang terlontar dari mulut Dody: “Legal ga tuh?” Dan di jawab ga pasti oleh Lintang: “antara iya dan ga.” Dody memalingkan wajahnya ke arah Lintang penuh tanya sesaat. Dan kembali menekurin pemandangan yang sama sekali beda dengan Jakarta. “Kita singgah di rumah Vera yah. Kita istirahat sebentar, sekalian jemput Vera.” Lintang memberi pengumuman.
 “Vera jadi ikut ga?” Sinta bertanya.
“Aku ga bisa memastikan, soalnya berkaitan dengan kepercayaan orang sini.” Jelas Lintang.
“Maksud kamu?” Dody bertanya penasaran.
“Tanya Vera langsung aja yah. Aku juga ga ngerti itu.”
“Yah….padahal kan asik kalo Vera ikut, gue jadi ga perempuan sendiri.”
                Semua memilih diam. Hingga mobil memasuki sebuah perumahan, dan berhenti disebuah rumah berpagar hijau. Dan parkir dengan sukses di sebuah lapangan kecil.
                Setelah ritual kesopanan ketika bertemu orang tua dan teman baru selesai. Masing-masing mencari posisi nyaman buat  sejenak istirahat. Debat sempat terjadi saat mama Vera keberatan putrinya ikutan di dalam speed boat dengan alasan, sebagai orang asli Desa Tering, kalau pulang kampung harus ada upacara atau minimal melarungkan telur ke sungai, kisah itu lengkap dengan contoh-contoh kejadian yang menimpah keluarga si Tante. Ari yang jago diplomasi saat kepepet, berhasil meyakinkan si Tante kalau Vera akan tinggal di Tering, tidak ikut menjelajah ditemanin Santi. Yang nyaris langsung protes. Namun tertahan karena Rian dengan pura-pura ga sengaja menginjak kaki Santi dengan kerasnya. Santi meringis kesel.
                Lintang muncul diambang pintu warung, wajahnya yang putih memerah di cium matahari pagi. Tak terlihat letih di wajahnya, walau semalaman dia nyetir. Lintang tersenyum melihat korban keganasan teman-teman Jakarta menyantap udang gala.
                “Speed boat kita siap. Masih lama?”
                “Bisa nunggu sebentar lagi kan?” Rian menjawab sambil memasukkan sesuap nasi dan sepotong besar udang gala goreng ke mulutnya, dan mengunyahnya dengan nikmat.
                “Santai saja, kita ga akan ditinggal pesawat kok.” Lintang menjawab sambil duduk dan menyeruput sisa White Coffee-nya.
                Tiga puluh menit kemudian, ke enamnya sudah duduk di dalam speed boat yang mengarungi  alur sungai Mahakam menuju hulu. Enam pasang mata memandang karya megah Ilahi di depan mata. Lintang yang bukan kali pertama melakukan perjalanan seperti ini pun masih terpukau. Rian dengan sigap memidikkan kamera yang tergantung di lehernya.
                Dua puluh menit yang lalu, Lintang dan Rian sudah didalam speed berbody kayu. Sementra di atas dermaga terjadi perdebatan panjang antara Vera, Santi, Ari dan Dody. Vera bingung antara pengen ikut dan tidak. Sementara Santi dengan tegas menolak di tinggal di Tering.
                “Jauh-jauh dari Jakarta, masa Gue Cuma nongkrong nunggu disini? Gue ikut, apa pun yang terjadi. Lagian Ver, itu mitos dong, ayo naik.” Santi bicara sambil melangkah masuk ke dalam speed boat. Tangannya menarik tangan Vera, yang segera di tepiskan Vera dengan ragu.
                “Aduh…..gimana yah….mau, tapi aku takut terjadi apa-apa.” Keluh Vera. Ari merangkuh bahu Vera dan berkata pelan dan meyakinkan.
                “Kita tidak ingin memaksa, semua terserah kamu. Aku pikir Santi ada benarnya, sudah tidak zamannya kita percaya hal-hal begitu.” Ari menarik nafas dalam. Di putarnya bahu Vera, sehingga berhadapan dan menatapnya lembut. “Dan kalau kamu ikut, demi kebersamaan kita, aku sudah siapkan telur yang harus dilarung.” Ari mengeluarkan 2 butir telur ayam dari saku jaketnya.
                “Aku pikir kamu ikut aja, Ver. Ga da kamu, ga asik.” Dody bicara sambil ngedipkan mata. “Percaya, Insya Allah kita baik-baik aja. Lagi pula Ari sudah siapkan syaratnya tuh.” Dody melanjutkan. Vera masih terlihat ragu.
                “Ga harus sekarangkan melarutnya.” Tambah Dody sambil menggandeng tangan Vera yang kali ini memilih untuk menurut. Ari mengikutinya keduanya naik ke speed boat.
                Laju speed meninggalkan jejak gelombang yang mencumbu akar pohon yang berdiri tegak menahan abrasi. Dasar jejak pohon bakau yang tertancap dalam air bagai kan jari-jari yang menghujam pasti di bumi. Seekor kera kecil yang asik bermain diranting kecil, tiba-tiba terjatuh dan berenang lincah kepenggiran. Pemandangan itu tidak dilewat Rian begitu saja dengan kamera DSLR nya, dan Santi dengan kamera handy came-nya.
                Sebuah delta memecah sungai menyongsong di depan speed boat, motoris mengarahkan  speednya ke kanan.
                “Kita singgah di pulau yang itu yah, Pak.” Lintang mengeraskan suaranya, mengalahkan suara mesin speed yang menderu-deru. Dengan cekatan motoris mengarahkan speed boatnya ke pulau yang di tunjuk Lintang.
                Keenam sahabat itu meloncat turun dari speed boat, berjalan menyusuri daratan berpasir dan menyibak rindangnya ranting pohon perdu dan bakau. Dan menghilang dari pandangan motoris yang mengambil duduk santai. Sesekali dia menyapa pengemudi speed lain yang kebetulan lewat.
                Sudah lima belas menit ke enam remaja menelusuri hutan bakau. Beberapa ekor monyet terlihat melompat dari satu ranting pohon ke ranting berikutnya. Dan beberapa ekor burung tiba-tiba membumbung, merasa terganggu dengan ke hadiran mereka yang tiba-tiba. Dada keenam remaja terasa segar, terisi oksigen bersih dari polusi ibu kota. Wajah Santi memerah tersentuh matahari kalimantan. Keringat bergulir di dahinya, ketika angin semilir bertiup lembut dengan nikmat dirasakan angin sejuk itu. Tiba-tiba teriakan Vera menggelegar, memecah kesunyian pulau kecil sekaligus menarik perhatian teman-temannya. Tangannya menunjuk ke satu arah. Seekor ular berukuran sedang terlihat turun dari atas pohon dan berenang diatas air sungai, pergi menjauh tanpa memperdulikan anak-anak yang tepaku menatapnya. Semuanya menarik nafas lega, kembali meneruskan perjalanan menyusuri pulau bakau kecil nan eksotik. 
                Tiba-tiba Rian berteriak “Wow!” dan seketika berlari meninggalkan teman-temannya yang kaget, dan ikut berlari di belakang Rian. Sambil berlari “ada apa, Ian?” Santi bertanya dengan nafas terengah. Rian tidak menjawab, dan menghilang dibalik sebuah pohon besar.
                Tiga puluh menit berlalu, motoris memandang gelisah kearah jalur anak-anak menghilang tadi. Ditegaknya air mineral, tangannya menyekah keringat yang mengalir pelan didahinya. Motoris berdiri dan dengan sigap lompat ke tanah. Kakinya melangkah ke arah celah semak, tempat anak-anak terahir terlihat. Sesaat motoris menahan langkahnya, menoleh ke arah speedboad. Motoris tertegun, tanpa ada penyebab, sebuah ombak yang lebih besar dari biasanya bergerak cepat ke arah delta. Dan menghambur di permukaan pulau. Dibelakangnya terlihat lagi sebuah gulungan ombak. Motoris berlari ke arah speedboad yang belom jauh ditinggalkannya. Dengan cepat dia hidupkan mesin perahu dan menjauh dari gulungan ombak. Dari jauh dia melihat bagaimana dua ombak besar menghempas delta. Matanya terasa panas, nafasnya tercekat. Ada rasa takut melihat ombak yang tak biasa itu, tapi juga rasa bersalah dan tidak bertanggung jawab terhadap tamu-tamu mudanya, yang dengan terpaksa dia tinggalkan. Motoris menatap tajam ke delta, berharap melihat para remaja disana, atau melihat mereka berenang disungai, terbawa ombak yang tiba-tiba tadi. Tapi harapannya sia-sia. Seperti tersadar, motoris mencari handphonenya.
                Matahari mulai condong ke barat, siap kembali ke peraduannya. Beberapa speedboat warga terlihat tertambat di delta bersama satu buah speedboat milik kepolisian. Beberapa warga memilih masuk ke semak, menjelajah delta. Sebagian menunggu diluar. Berjaga-jaga agar bila ada dari anak-anak yang hilang tadi terlihat.
                Hampir satu jam warga mengelilingi delta, melalui daratan bagian tengah, pinggiran delta hingga menyusuri lewat alur sungai Mahakam. Tiba-tiba seorang warga berteriak dari dalam speedboat yang menyusuri sungai disisi delta.
“Itu.....itu.....” tangan orang itu menunjuk sesutu yang mengapung di sungai, dimainkan arus. 5 orang di atas speedboat melihat ke arah yang ditunjuk orang tadi.
“Apa yang kamu lihat?” Tanya yang lainnya.
“Itu yang putih kecil, telur ayam kampung.” Seru orang itu lagi.
“Iya....itu telur ayam.” Orang ke-3 menyahut.
“Aku ga ngerti. Cuma sebutir telur.” Timpal orang ke-2.
“Artinya dalam rombongan anak-anak itu ada yang orang asli sini yang merantau. Biasanya keturunan raja-raja. Harusnnya sebelum mereka berangkat tadi, harus ada upacara adat. Salah satunya melarung 2 butir telur ayam kampung.” Orang ke-5 menjelaskan.
“Ayo cari lagi. Mereka masih ada disini.” Orang ke-2 berseru.
“itu....ada lagi.” Orang yang tadi melihat lagi sebutir telur mengapung. Speedboat kembali bergerak menyusuri pinggiran delta.
                Ujung timur delta mulai temaram, langit senja menyapukan warna jingga indah sekaligus memberikan kesan sakral pada alam sekitar delta di tengah Sungai Mahakam. Dengan lembut ayunan arus sungai mengecup mesra pinggiran delta yang diam membisu.
                Dari celah dua pohon besar dan rindang yang tumbuh berdampingan terlihat 4 sosok berjalan gontai. Shinta, Ari, Rian dan Lintang. Ari terlihat di papah Lintang dan Rian, sementara Shinta berjalan dibelakang mereka. Begitu menemukan permukaan datar yang terbuka, mereka menjatuhkan diri. Rasanya mereka sudah berjalan berputar-putar delta yang tak terlalu besar itu selama berhari-hari. Pakaian mereka terlihat lusuh. Lintang bergegas kepinggir sungai ketika mendengar suara mesin speedboat. Sambil berteriak minta tolong.
Speedboat kepolisian yang memutuskan untuk sekali lagi mengelilingi delta, sebelum kembali ke desa Tering, bergegas menepi, menghampiri Lintang. Beberapa orang lompat dari dalam speed dan segera memberikan pertolongan. Ari di gotong, karena kakinya sebelah kanan terlihat bermasalah. Speedboat bergerak.
“Sebentar, Pak. Masih ada 2 teman kami yang tertinggal.” Lintang bicara lemah.
“Dimana kalian tadi terpisah?” Tanya petugas kepolisian.
“Kami ga ngerti dimana dan gimana kami bisa terpisah.” Jelas Shinta.
“Iya, Pak. Yang jelas waktu Ari melarung sebutir telur pertama kami bersama, bahkan Vera sempat mengambil sebutir telur yang tersisa dari Ari, pak. Setelah itu, kami tidak melihat Vera dan Dody lagi.” Jelas Rian. Dengan radio komunikasi yang dibawa, polisi itu memberikan informasi sekaligus perintah mencari sekali lagi ke petugas yang menyusuri sisi lain delta.
“Petugas dan warga akan terus mencari teman kalian. Kalian kembali dan tunggu di Tering saja.” Ujar polisi tegas. Ari meringis menahan sakit di kakinya.
Bulan menggantikan kedudukan matahari dengan berlahan, bergantian menjaga bumi agar nafas hidupnya tetap asri dan serasi. Cahayanya yang mempu menghadirkan suasana tenang nan romantis terpancar di permukaan sungai Mahakam yang tak letih mengalir menghilir, mencari laut yang menjadi tujuan akhirnya.
Ari, Lintang dan Shinta di evakuasi ke Rumah Sakit. Ari mendapatkan 9 jahitan dibetisnya yang sobek. Ari bingung, karena dia merasa tidak ada sesuatu apa pun yang menyangkut yang bisa membuat betisnya sobek menganga begitu besarnya. Dia bahkan tidak merasakan ada darah yang mengalir dari sobeknya. Dia cuma merasa tidak bisa menggerakan kakinya. Shinta, Rian dan Lintang pun mendapat sedikit perawatan untuk memar dan luka kecil ditubuh masing-masing.
“Apa yang terjadi sampai kalian bisa hilang di delta?” seorang perawat laki-laki bertanya, ketika ketiganya sudah di istirahatkan di ruang rawat.  
“Iya, Ian. Sebenarnya apa sih yang membuat kamu tiba-tiba kembali dan berlari?” Lintang bertanya yang disambut anggukan kepala oleh shinta dan Ari.
“Aku melihat seekor burung lumayan besar, sebesar ayam kampung gitu. Masa’ kalian ga liha?” Rian menatap temannya satu per satu, dan ketiganya memberi tatapan bingung. “terbangnya pelan dan rendah banget kok. Aku sempat motretnya tiga kali. Bulunya indah banget. Aku pengen motretnya lebih dekat lagi, makanya aku ngejar.” Ketiga temannya menatap Rian dengan tatapan aneh.
“Ian, aku ga ada lihat burung waktu kamu tiba-tiba berlari sambil teriak-teriak.” Jelas Shinta.
“aku juga.” Timpal Ari.
“Sama.” Tambah Lintang. Rian mengernyitkan dahinya. Karena dia yakin banget dengan apa yang dilihatnya.
“masa’ sih. Burung itu kan lumayan besar dan cukup dekat kok dengan kita. Malah kita melewatinya waktu dia bertengger di akar bakau.” Rian berkeras. Ketiga temannya kompak menggeleng dan mengernyitkan dahi. Rian bergegas mencari kameranya. Perawat yang dari tadi mendengarkan, mengambilkan kamera Rian dari meja. Rian menghidupkan kameranya dan mencari photo-photo burung yang dia maksud. “Seharusnya ada 3 photo waktu burung itu bertengger. Aku motretnya dari samping, agak jauh. Pas aku hampir melewatinya, dan aku berharap bisa motret dari sisi depan, tau-tau burung itu terbang. Terus aku kejar. Tau-tau ada ombak besar, burung itu ga tau kemana terbangnya.” Urai Rian lagi. Keningnya berkerut, photo yang dia cari ditemukan, tapi photo burung yang dia maksud ga ada. Cuma akar-akar bakau. Rian memperlihatkan ke teman-temannya dengan kecewa.
“Kok bisa ga ada yah?” Keluh Rian.
“Sudahlah, mungkin cuma fatamorgana.” Shinta berkomentar.
“Yang aku masih ga ngerti sama ombak besar yang ngantem sampai berapa kali itu.” Ujar Shinta lagi.
“Berapa kali? Kan cuma dua kali. Saya melihat kok, mas.” Motoris speedboat tiba-tiba muncul di depan pintu ruang rawat.
“Dua kali? Ada 5 kali ombak besar itu, pak.” Jelas Lintang.
“Iya. Saya melarung sebutir telur ketika ombak ke lima.” Ari menimpali.
“Vera dan Dody mana, Pak?” Shinta teringat dua temannya.
“Masih di ruang UGD.” Jawab motoris.
“Kondosi mereka?” Shinta mengejar lagi.
“Yang perempuan baik aja. Cuma luka-luka kecil. Yang laki-laki, sepertinya agak linglung dan tangan kanannya perlu di gips.” Jelas motoris.
“Alhamdulilah.” Serempak ke empatnya. “Yang penting selamat semua.” Lintang menarik nafas lega.
“Ma’afkan aku. Membuat semua celaka.” Rian bicara dengan nada pelan dan menunduk.
“ Ga ada yang perlu di ma’af kan. Ini semua resiko yang harus kita tanggung. Berpetualang ke tempat orang, tapi ga mau patuhi aturan daerah setempat.” Shinta membesarkan hati Rian.
Hari ketiga, ke enamnya sudah lebih baik. Tinggal kaki Ari yang di jahit masih di balut perban, dan tangan Dody yang masih harus di gips buat beberapa hari lagi. Dan ke enamnya sepakat meninggalkan desa Tering subuh ini. Di lepas orang dari kepolisian dan tokoh adat setempat, mobil berjalan  berlahan meninggalkan desa Tering. Di iringi semburat merah cakrawala pagi dan titik embun bening di ujung rumput, serta anggukan bunga-bunga kecil melepas ke enam remaja. Sementara di tengah sungai Mahakam, di delta yang terhampar diam, melintas dua ekor burung sebesar ayam berbulu indah dengan anggungnya. Dan menghilang di tengah gelombang sungai yang tiba-tiba membesar. Dan semua kembali tenang.

Balikpapan, 12 Mei 2014
Amanda Nasution 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEPPERMINT (film)

Selembar Itu Berarti (film)

Mengenal Lebih Jauh Imunisasi Untuk Anak