Mantan Manten (Review)



Visinema kembali dengan film bercerita menarik dan karakter
yang kuat. Kali ini, film yang dirilis pada 
4 April ini bertemakan “Move on,” dengan judul “Mantan Manten.”

Melihat susunan pemainnya, kemudian posternya, aku sempat
tidak berminat nonton film ini. bayanganku ini sebuah film drama percintaan
dengan akhir happy ending, seperti FTV. Seperempat pertama film Mantan Manten
ini seperti meng-aminkan estimasiku. Cuma hanya pada seperempat pertama. Awal
tragedi film ini nyaris tidak aku perhitungkan. Tyo Pakusadewo bermain sebagai
seorang ayah dari seorang anak laki-laki bernama Surya, yang berharap anak
laki-lakinya bisa menggantiannya kelak. Film ini seperti mendukung feminism,
dimana wanita itu menyimpan kekuatan luar biasa dibalik duka dan air matanya.
Mampu bertahan dan menghadapi apa pun, walau sendirian.

Film apik, dimana baik kameraman dan sutradara royal akan
gambar-gambar bagus, dan meletakan engel yang sebenarnya sederhana, tapi
mengahasilkan visual menyenangkan. Sepertinya tidak banyak, atau bahkan tidak
ada pemanfaatan teknologi yang digunakan untuk film ini baik kamera, mau pun
teknik editingnya.

Sementara itu film Mantan Manten ini sebenarnya  merupakan film dengan cerita yang tidak
istimewa, membuatnya memiliki nilai lebih itu karena pintarnya penulis membalut
pesan di dalam cerita dengan hiasan adat tradisi yang kemungkinan terlupakan
oleh generasi muda. Walau hanya dalam berupa simbol yang tertera didalam ritual
adat pernikahan Jawa dan konflik batin yang terlihat membaur pada satu waktu
yang sama, dan terleselesaikan bersamaan pula. Kita akan belajar mengerti apa
kata iklas dari film ini. ‘Ikhlas itu seperti surat Al-Ikhlas, tidak pernah
kata Ikhlas di dalamnya.’

Focus awal film ini adalah Nina (Atiqah Hasiholan), sebagai
konsultan bisnis sukses, kemudian beralih drastic ke profesi seorang paes,  penata make up penganten adat Jawa.
Perjuangan menjadi Pemaes ini membiaskan konflik utama film ini, perjuangan
Nina membalas orang yang telah memfitnahnya. Semua diselesaikan dengan simbol-simbol.
 Sehingga terasa kurang greget di anti
klimaks film yang di sutradarai olehFarishad Latjuba ini bagi sebagian penonton
yang menyukai klimaks dengan ‘intonasi’ tinggi dan menang nya protagonist
dengan ditandai ‘berdarah-darahnya’ antagonis. Penonton diajarin sabar loh di
film ini.
So, aku  mau kasih
rating 8/10 buat film apik ini.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOMETHING IN BETWEEN

Selembar Itu Berarti (film)

FILM - THE GIFT 2018